Pandangan Umum Potensi Madu Hutan di Kawasan Hutan KPHL Ampang

Oleh :

Mahasiswa Program PKL Jurusan Kehutanan Universitas Mataram

img_1008

Hasil pemungutan madu hutan yang berada di Kawasan Hutan KPHL Ampang

       Ampang, Hutan merupakan suatu kesatuan ekologi  yang didalamnya terkandung energi untuk menunjang keberlangsungan hidup mahluk hidup, baik didalam hutan maupun diluar hutan itu sendiri. Di Kecamatan empang khususnya, seiring bertambahnya jumlah penduduk serta kebutuhannya ketergantungan terhadap sumber daya hutan semakin tinggi. Sebagian masyarakat umumnya menggunakan kawasan hutan sebagai wilayah perladangan. Ini merupakan masalah yang sangat krusial pada saat ini dikarenakan pembukaan wilayah hutan menjadi ladang atau persawahan secara illegal tentu dalam prosesnya banyak merusak komponen penyusun hutan. Hal tersebut kemudian berdampak pada  semakin sempitnya kawasan hutan dan meyebabkan terjadinya ketidakseimbangan ekosistem.

         Potensi hutan yang dimiliki KPHL Ampang sangat beragam baik dari Hasil Hutan Kayu (HHK) dan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), Khususnya HHBK Madu Hutan (Apis Dorsata). Apis Dorsata atau sering disebut dengan lebah hutan merupakan HHBK unggulan dari kabupaten Sumbawa dimana Empang merupakan salah satu daerah penghasil madu tersebut yang umu dikenal sebagai  Madu Sumbawa. Melihat kebutuhan madu di Indonesia semakin hari kian meningkat yaitu berkisar antara 4000 s/d 4500 ton pertahun namun demikian produksi madu dalam negeri masih kurang yaitu hanya sekitar 1.000 s/d 1500 ton pertahun (Menhut, 2011). Itu Artinya Indonesia masih membutuhkan impor madu sebanyak 3.000 ton pertahun untuk memenuhi konsumsi madu dalam negeri, khususnya hasil madu dari kawasan hutan yang ada dikabupaten sumbawa. Dalam hal ini wilayah kawasan hutan di KPHL Ampang.

        Dari hasil panen madu hutan di kawasan hutan KPHL Ampang dihasilkan tiga jenis madu,  yaitu madu hitam, madu putih serta madu biasa dan varian harga setiap jenis madu ini berbeda-beda. Selama ini diketahui bahwa Madu Sumbawa memiliki kualitas dan kuantitas yang baik dikalangan konsumen dalam maupun luar daerah, jadi hal tersebut merupakan peluang pasar yang baik terhadap penjualan madu. Dari pandangan diatas, maka jelas usaha lebah madu memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Produksi lebah madu Hutan ini masih dilakukan secara tradisional, itu artinya produksi dilakukan secara alami oleh masyarakat yang tergabung dalam kelompok tani hutan yang difasilitasi oleh KPHL Ampang. Pemungutan madu ini dilakukan dengan cara berburu kedalam hutan dan dengan menggunakan alat-alat yang masih dikatakan sederhana.

         Menurut kami, Kedepannya perlu dibangun lembaga yang berperan sebagai naungan kelompok petani lebah madu untuk menjual produk hasil panen, lembaga ini bisa berupa koperasi masyarakat yang berperan bukan hanya sebagai pengepul namun memasarkan ke konsumen secara langsung maupun  konsumen dari luar daerah serta bertindak sebagai pengolah produk lain dari lebah seperti pollen, Royal jelly, propolis dan lilin lebah. Dengan demikian  relasi kerja instansi bukan hanya dengan kelompok petani lebah melainkan bisa melebar dikalangan masyarakat diluar kelompok tani. Jika dikelola dengan baik, bukan tidak mungkin KPHL Ampang  menjadi salah satu produsen madu terbesar di pulau Sumbawa. Selain itu, jika masyarakat sadar akan nilai ekonomis madu yang cukup tinggi, hal ini kemudian mampu menyadarkan masyarakat akan pentingnya menjaga ekosistem tempat lebah berkembang biak, serta mengurangi ketergatungan masyarakat terhadap penggunaan kawasan hutan sebagai tempat untuk berladang.(Admin)

Identifikasi Potensi Wisata Gili Rakit

Oleh : Sulthan Alvian

Mahasiswa Program PKL Jurusan Kehutanan Universitas Mataram di KPHL Ampang Tahun 2016

IMG_0848

Hamparan Pasir Putih Gili Rakit

Ampang, Pulau Rakit merupakan pulau tidak berpenghuni dan merupakan aset besar yang dimiliki oleh KPHL Ampang yang dimanfaatkan Jasa Lingkungannya sebagai salah satu destinasi wisata favorite dipulau sumbawa. Pulau Rakit memiliki beragam kekayaan dan keindahan alamiah, Mulai dari Pantai pasir putih, Terumbu Karang, Hutan bakau, berbagai jenis burung pantai serta keanekaragaman hayati lainnya, salah satunya Burung Gosong yang diketahui sebagai satwa endemik NTB, bisa dimanfaatkan dan dikembangkan sebagai daya tarik tersendiri dari pulau tersebut.  Keberagaman jenis satwa dan biota laut menjadikan Pulau Rakit dapat dikembangkan sebagai Ekowisata berbasis konservasi sehingga tempat ini tidak hanya akan dikunjungi oleh para wisatawan untuk berlibur, melainkan para akademisi yang melakukan studi atau penelitian tentang satwa liar khususnya burung.

Namun kekayaan dan keindahan alam ini hanya diketahui oleh masyarakat setempat yang selama ini memanfaatkan Pulau Rakit sebagai tempat berladang dan mengembalakan kerbau. Sehingga perlu dilakukan pengembangan potensi untuk memperkenalkan keindahan yang selama ini  tersembunyi dimiliki NTB khususnya Sumbawa. Akses ke Pulau Rakit itu sendiri cukup mudah, biasanya dengan memanfaatkan jasa angkutan perahu motor  nelayan  setempat disekitar pesisir pantai Kecamatan Tarano, dengan  Jalur penyebrangan yaitu Desa Labuan Aji dan  Desa Labuhan Jambu yang diketahui  sebagai desa terdekat  dengan Pulau Rakit.

Keindahan Pulau Rakit  jika tidak diexplore lebih dalam maka Pulau ini hanya akan menjadi tempat pengembalaan kerbau dan lahan jagung namun disisi lain apabila dikembangkan dengan tetap memperhatikan keseimbangan ekologi akan mendatangkan nilai ekonomi bagi masyarakat secara umum dan mendatangkan pendapatan asli daerah serta memperkenalkan Nusa Tenggara Barat sebagai daerah wisata berdaya saing tinggi. Kondisi ekonomi masyarakat pesisir selama ini mengandalkan hasil dari laut sebagai penghasilan utama. Namun belakangan ini marak terjadi penangkapan ikan dengan memakai Bom dan terjadi ekploitasi pasir pantai yang dikeruk untuk digunakan sebagai bahan bangunan maupun untuk dijual sebagai pendapatan tambahan, hal ini tentu memiliki dampak buruk bagi keseimbangan ekosistem maupun keindahan alam itu sendiri. Sehingga dengan pengembangan Pulau Rakit ini sebagai daerah wisata  pengeboman ikan dan pengerukan pasir pantai mampu ditenkankan karena masyarakat memiliki banyak pilihan untuk mengembangkan usaha sebagai pendapatan sehari-hari baik berupa berdagang, menyediakan fasilitas transportasi, perlengkapan snorkling, diving, guide dan masih banyak lainnya yang tentu perlu dilakukan penyulahan dan pelatihan untuk menambah pengetahuan dan kreatifitas masyarakat setempat. (Admin)

KPHL Ampang Promosi Potensi Sumber Daya Hutan Ditingkat Nasional

DCIM100MEDIAStand KPHL Ampang pada Kegiatan Sosialisasi dan Promosi Potensi Sumber Daya Hutan

JAKARTA KPHL Ampang turut  serta dalam kegiatan sosilisasi dan promosi potensi sumber daya hutan yang diselenggarakan oleh Ditjen Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (PDASHL)  di  Auditorium Gedung Manggala Wanabakti, selasa (8/12/2015) di Jakarta pusat. Kegiatan ini diikuti sebanyak 40 KPHL yang ada di seluruh Indonesia.

Menurut Kasubdit Pemanfaatan Hutan Lindung, Utep Syafrudin, kegiatan ini  merupakan upaya mengoptimalkan potensi sumber daya hutan, khususnya yang berada diwilayah kesatuan hutan lindung melalui promosi publik.

KPHL Ampang sendiri dalam upaya mempromosikan potensi sumber daya hutan  menawarkan beberapa komoditi unggulannya seperti Madu Hutan, Cendana Semut, dan Gaharu.

Selain itu, KPHL Ampang juga menawarkan potensi jasa lingkungan dan ekowisata yang saat ini menjadi prioritas dalam rencana pengelolaan jangka pendek maupun jangka panjang KPHL Ampang.

Kegiatan ini turut diramaikan oleh para investor serta stakeholder yang ingin membangun kerjasama mengembangkan sumber daya hutan disetiap KPHL.

“Kedepannya, kegiatan ini harus diikuti oleh seluruh KPHL yang ada di Indonesia, mengingat kegiatan ini bukan hanya dihadiri oleh pihak dilingkup KPHL saja, tetapi stakeholder terkait dan investor pun turut serta meramaikan kegiatan ini”, kata Maman Firmasnsyah, Kepala KPHL Ampang.

Maman Firmansyah juga mengharapkan kegiatan ini harus terus berlanjut, mengingat peranan promosi sumber daya hutan yang sangat substansial dalam upaya mendukung dan mengoptimalkan realisasi rencana pengelolaan yang disusun  oleh setiap KPHL melalui skema kerjasama atau kemitraan.(Admin)

 

Isu Strategis, Kendala, Permasalahan di Wilayah Pengelolaan KPHL Ampang Sili

Ampang, Beberapa isu strategis, kendala serta permasalahan yang masih dirasakan dalam kegiatan pengelolaan hutan di wilayah KPHL Ampang, antara lain:

A. Tata Hutan, Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Hutan

  1. Belum dilakukannya inventarisasi potensi sumberdaya hutan secara komprehensif di tingkat blok maupun petak;
  2. Belum optimalnya implementasi community based forest management (CBFM), baik di level masyarakat maupun aparatur;
  3. Kawasan hutan produksi seluruhnya berbatasan langsung dengan pemukiman penduduk;
  4. Banyak hilangnya patok batas kawasan, baik batas luar maupun batas fungsi;
  5. Dibeberapa wilayah hutan, telah terjadi alih fungsi kawasan menjadi perkampungan, sawah maupun sarana publik seperti sekolah;
  6. Belum adanya hak pemanfaatan oleh masyarakat, sehingga berpotensi menjadi konflik kehutanan;
  7. Konflik kawasan dengan masyarakat setempat;
  8. Belum adanya kejelasan terhadap asset tegakan Perum Perhutani yang tegas, meskipun telah ada Permenhut tentang Hutan Tanaman Hasil Rehabilitasi (HTHR);
  9. Belum adanya role model lokal (silvikultur, kesinambungan kelembagaan dll) yang difasilitasi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa dalam konteks pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan;
  10. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu yang belum optimal;
  11. Belum berkembangnya Usaha Kehutanan Masyarakat di sekitar wilayah KPHL Ampang;
  12. Lemahnya fasilitasi terhadap potensi hasil hutan bukan kayu (HHBK), sehingga belum memberikan nilai tambah;
  13. Belum optimalnya pemanfaatan potensi lahan yang tersedia untuk kemanfaatan bagi masyarakat maupun kawasan hutan;
  14. Banyak ternak liar yang dapat menyebabkan gagalnya rehabilitasi lahan dan hutan, mengingat kultur masyarakat Sumbawa yang menerapkan praktek pengembalaan liar (disebut LAR);
  15. Belum adanya kemitraan antara pemerintah, masyarakat dan investor dalam pengelolaan hutan di KPHL Ampang.

B. Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

  1. Perambahan hutan semakin besar, tidak sebanding dengan kemampuan rehabilitasi;
  2. Lemahnya pemahaman pemanfaatan hasil hutan oleh kelompok masyarakat, sehingga kerap terjadi tindak pidana kehutanan;
  3. Seringnya terjadi pencurian kayu (illegal logging) di hutan lindung maupun hutan produksi;
  4. Perambahan di hulu DAS/Sub DAS dan di sekitar mata air;
  5. Lemahnya dalam penegakan hukum, dimana setiap permasalahan hukum kehutanan yang muncul tidak dengan segera diatasi oleh aparatur kehutanan dan kepolisian.

C. Perencanaan dan Tata Kelembagaan Kehutanan (organisasi, aparatur, sarana, dll)

  1. Lemahnya database (data dasar) kehutanan sehingga akan menyulitkan pengambilan keputusan;
  2. Belum tersedianya perencanaan kehutanan yang akan menuntun aparatur dan parapihak dalam pemanfaatan sumberdaya hutan;
  3. Lemahnya kemampuan manajerial aparatur KPHL Ampang dalam pengelolaan hutan;
  4. Moral hazard aparatur dalam pengamanan yang cenderung menyalahgunakan kewenangan (abuse of power).

(Admin)

Kondisi Sosial Budaya Masyarakat di Wilayah Pengelolaan KPHL Model Ampang Sili

Ampang, Masyarakat yang berbatasan langsung dengan wilayah kelola KPHL Ampang meliputi masyarakat dari 23 desa yang berada di 4 (empat) kecamatan.    Hubungan antar masyarakat desa yang satu dengan masyarakat desa lainnya mempunyai ikatan pertalian keluarga atau kekerabatan yang masih terus dipertahankan sampai saat sekarang baik dalam membangun komunikasi antar keluarga maupun berinteraksi dalam kehidupan sosial, ekonomi dan budaya setempat.

Pada umumnya, masyarakat di 4 (empat) kecamatan mayoritas beragama islam sedangkan lainnya beragama Hindu dan Kristen, dengan sarana ibadah berupa mesjid, pura/sangga dan gereja.  Dalam menjalankan ibadah penduduk wilayah setempat menjunjung tinggi toleransi beragama sehingga agama dan kepercayaannya merupakan salah satu modal dasar yang cukup signifikan dalam pengembangan sumber daya manusia.

Masyarakat yang tinggal di wilayah KPHL Ampang pada umumnya berprofesi sebagai petani.  Kelembagaan yang bersifat permanen seperti misalnya lembaga desa (Kantor Kepala Desa) mempunyai struktur sama dengan desa lainnya di Indonesia, ada Kepala Desa, Sekretaris Desa dan beberapa Kepala Urusan yang bersifat operasional, selain itu di tingkat desa seperti Badan Perwakilan Desa, LPM, Karang Taruna, PKK, Majlis Taklim dll.  Secara struktural di bawah Desa ada Dusun dan dibawah Dusun ada RT, lembaga-lembaga ini merupakan unsur penting dalam proses pembangunan.

Infrastruktur perekonomian pada enam wilayah kecamatan cukup memadai dengan adanya lembaga-lembaga ekonomi berupa Bank, Koperasi dan lembaga keuangan lainnya yang mendukung proses ekonomi wilayah.  Termasuk sarana prasaranan dan sistem transportasi darat, laut dan udara.

Aspek lain yang tidak kalah penting dalam upaya pengembangan kawasan adalah aspek budaya, aspek ini mempunyai nilai-nilai yang masih sangat dipertahankan sebagai landasan hidup dalam bermasyarakat, berinteraksi dengan masyarakat luar dan pranata global.

Masyarakat Kabupaten Sumbawa secara historis pernah dipengaruhi oleh paradaban zaman prasejarah yang dibawa oleh nenek moyang yang tergolong suku bangsa Austronesia, selanjutnya pengaruh agama hindu di Pulau Jawa dirasakan pula di Pulau Sumbawa, bahkan beberapa diantara unsur budaya prasejarah tersebut seperti pemuja animisme, pemuja arwah leluhur misalnya ritual tanak eneng ujan (upacara mohon hujan), dan basadekah lang (ritual selamatan dan mohon doa untuk kesuburan pada) masih dipertahankan sampai sekarang.

Pada tahun 1511 M, ketika kerajaan Malaka yang beragama islam jatuh ketangan Portugis, diperkirakan banyak orang-orang islam bugis yang ada di Malaka bermigrasi ke P. Sumbawa dan menetap disana.  Pada tahun 1618 M dibawah pimpinan Karaeng Moroangang dari kerajaan Goa (Sulawesi) memperluas pengaruhnya dengan azas islam sehingga pengaruh Hindu tidak berkembang secara bebas, dibeberapa tempat tradisi animisme sudah mulai ditinggalkan.  Pada tahun 1623 P. Sumbawa telah berada dibawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Goa (Sulawesi) dipersatukan dibawah Kesultanan Sumbawa, kemudian orang-orang Makasar dan Bugis berdatangan ke P. Sumbawa.  Pada tahun 1856 ratusan keluarga Sasak dari Lombok bermigrasi disusul oleh etnis jawa.  Beberapa etnis yang kini mendiami P. Sumbawa diantaranya etnis jawa, Makasar, Bugis, Sasak, Sunda, Timor, Minang dll.  Dalam berinteraksi pada umumnya penduduk Kabupaten Sumbawa menggunakan bahasa Samawa dengan berbagai dialek seperti dialek Taliwang, Tepal, Jereweh dll.  Bahasa Indonesia dipakai oleh penduduk setempat dalam berinteraksi dengan masyarakat pendatang dari luar Kabupaten Sumbawa.

(Admin)